Saya masih ingat ketika saya S2. Lembar ujian saya diambil oleh teman-teman dan ditiron rame-rame. Yang melakukan itu termasuk orang yang sekarang sedang menempuh S3. Saya bukan mau menunjukkan betapa saya mumpuni dalam mata kuliah itu (bahasa Inggris dan Teori Komunikasi). Entah kebetulan saja mungkin. Tapi point saya bukan itu. Di saat yang lain, saya ingat di mata kuliah Filsafat Komunikasi ada tugas menerjemahkan satu buku. Semua pada berpikir bahwa si Profesor tidak akan membaca detil hasil terjemahannya. Maka yang dilakukan adalah, satu dua halaman pertama diterjemahkan dengan baik, tapi halaman-halaman depannya dikerjakan pake Transtool, yang tentu saja hasilnya adalah 100% sampah! Beginilah sekilas memori saya ketika S2 dulu.
Lalu sekarang ada yang mendorong saya untuk S3 di tempat yang sama. Memang teman-temannya pasti beda, tapi dosennya relatif sama. Sementara itu sebagian dari teman-teman saya di S2 dulu ada yang menempuh S3 ini. Saya perhatikan mereka. Mereka termasuk orang-orang yang dulu melakukan ketidakjujuran intelektual itu. Mereka itu saya tahu banyak yang memperoleh beasiswa BPPS dan ditambah lagi dengan beasiswa dari pejabat di kota di mana mereka berasal. Yang mengagetkan saya adalah ada yang belum bekerja, ada pula yang bekerja tapi bukan pendidik. Memang semua orang bisa punya kemungkinan untuk menjadi apa saja dengan bekal pendidikan yang dimiliki, tapi apa point-nya untuk menempuh S3 kalau etosnya seperti itu … atau visinya tidak jelas. Apakah lulus menempuh S3 dan lulus S3 nanti akan dipandang sebagai bagian dari upaya social climbing ?
Yang terakhir itu adalah kecurigaan saya pada banyak orang. Seorang oportunis akan bilang, “Sah-sah aja dong”. Ya emang sah. Siapa yang akan mengklaim itu tidak sah ? Memang ada degradasi apresiasi pada nilai tingkat pendidikan. Dulu jadi S1 saja sudah mewah, sekarang jadi S1 adalah sangat biasa-biasa saja. Apakah akan ada saatnya nanti orang yang lulus S3 dinilai biasa-biasa saja ? Kalau itu terjadi maka yang ada adalah sebuah dekadensi. Tapi kalau quality control dari program pasca sarjana itu tidak ketat, maka itulah yang bisa akan terjadi. Melihat kecenderungan teman-teman saya yang seperti itu, juga sistem yang cenderung hanya sekedar memberikan “siksaan” membaca, mengerjakan tugas, membuat 5 makalah per minggu”, dan presentasi membuat saya rada ogah untuk ikut S3, ya maksudnya S3 di tempat yang sama (guess where !).
Istri saya bilang, “Ah, sudahlah ikut saja. Toh nanti penghargaan orang akan berbeda kalau sudah S3”. Mungkin dia benar. Tapi saya ingin sekolah lagi itu tidak sekedar bagian dari upaya social climbing. Toh, apakah ada jaminan kita akan lebih berada dan terpandang kalau kita banyak gelar ?
Dilema Sekolah Lagi
6 Februari, 2008 oleh tomita
Tinggalkan Balasan